JOMBANG – Setiap tahun, sejumlah sekolah negeri tingkat atas baik SMA maupun SMK di Kabupaten Jombang, nyaris tidak pernah absen dari kegiatan penggalangan donasi wali murid atau sumbangan sekolah.
Pertanyaannya, sampai kapan sumbangan sekolah berlangsung? kenapa sampai hari ini tidak satu pun pihak berani menyebut batas akhir sumbangan? Padahal fasilitas seperti apa yang dikehendaki, itu tidak pernah disebut.
Definisi sekolah layak atau standarisasi kelayakan fasilitas sekolah, kata pegiat LSM, saat ini cukup mendesak untuk dirumuskan. Itu, untuk mengukur apakah sumbangan sekolah benar-benar berbasis kebutuhan prinsip dan urgen, atau hanya selera suka-suka.
Bahkan parameter perlu segera ditetapkan, sambungnya, agar supaya sumbangan sekolah bukan sebentuk modus yang mengatasnamakan mutu pendidikan tapi sejatinya hanya kebutuhan omon-omon atau perihal yang cenderung mengada-ada.
“Harus dipertegas parameternya. Misal, gedung yang representatif itu yang seperti apa, juga fasilitas yang memadai itu yang kayak apa. Dengan demikian ada titik akhir yang dituju atau ada tahap dimana sumbangan sekolah dianggap cukup, “sergahnya tak habis pikir.
Sebaliknya jika sekolah layak tidak pernah dirumuskan, sorotnya, maka apa saja bisa dimintakan sumbangan atas nama mutu pendidikan. Praktik model begini, tegasnya, membuat sumbangan sekolah terancam langgeng bahkan sampai kiamat.
Ia berpandangan, kekacauan ini, atau perdebatan tentang sumbangan sekolah sejatinya masuk kategori pungli atau partisipasi, akan sulit terhentikan jika pihak otoritas tidak berani mematok apa itu definisi sekolah layak.
“Atau jangan-jangan situasi ini memang dikehendaki. Yakni publik sengaja dibiarkan terjebak dalam perdebatan dan pertentangan antara pungli atau sumbangan, sementara hal substantif seperti standar kelayakan fasilitas sekolah sengaja tidak dibahas, “ujarnya.
Memastikan apa itu sekolah layak, Sumber kredibel di kantor Cabang Dinas Pendidikan Pemprov Jatim Wilayah Jombang belum bisa menyodorkan ukuran baku. Kata dinamis sempat disebut. Menandakan sumbangan sekolah tidak akan berhenti.
Namun ia sepakat bahwa standarisasi fasilitas sekolah atau sekolah layak, perlu dirumuskan. Menyikapi hal itu, mulai tahun depan, pihaknya akan meminta pihak sekolah mengirim proposal ke Cabang Dinas terlebih dulu sebelum menyodorkannya ke wali murid.
“Supaya ada remnya, “ujarnya singkat, 2 pekan lalu diruang kerjanya. Sayangnya, ia tidak merinci seperti apa formulasi kontrol atau rem terhadap sumbangan sekolah tersebut.
Padahal, kata pegiat LSM, sumbangan sekolah yang tidak didasarkan pada kajian terukur atau sumbangan yang cenderung mengada-ada, bisa beresiko pidana korupsi bagi ASN penyelenggara pendidikan karena telah menyalahgunakan wewenang. (din)