JOMBANG – Sederet pertanyaan dilayangkan Koran-K.com kepada 5 Kepala Sekolah SMA Negeri di Jombang melalui chat whatsapp, Jumat (12/9/2025). Masing-masing adalah Kepala Sekolah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN Kabuh dan SMAN Jogoroto.
Pertanyaan dimaksud antaralain, (1) sampai kapan sumbangan sekolah berlangsung?, (2) memangnya, fasilitas dan sarana sekolah seperti apa yang dianggap cukup atau dianggap memenuhi standar kelayakan sekolah?
Kemudian, (3) dalam hal sumbangan sekolah dialokasikan untuk pembangunan gedung atau sarana fisik lainnya, apakah RAB pekerjaan dan gambar tehnis sudah mendapat pengesahan dari dinas PUPR atau otoritas tehnis terkait?
Juga, (4) dari pekerjaan gedung itu, apakah harga satuan pekerjaan bisa ditunjukkan ke ruang publik? Ini penting untuk memastikan pekerjaan gedung tidak terjadi kemahalan (atau terindikasi mark up), serta memastikan serapan uang sumbangan tersalur secara tepat.
Berikutnya, (5) dalam hal sumbangan sekolah dialokasikan untuk pembangunan gedung, apakah pekerjaan dilaksanakan dengan metode swakelola tipe 1? Bukankah lembaga sekolah tidak cukup kemampuan untuk mengerjakan proyek fisik?
Pertanyaan poin 3, 4, dan 5, dilayangkan lebih untuk mendobrak transparansi penggunaan uang sumbangan dan sekaligus mengukur ketaatan pihak sekolah terhadap mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagaimana ketentuan Perpres.
Pekerjaan gedung sekolah, misalnya. Jika RAB dan gambar tehnis tidak mendapatkan pengesahan dari otoritas terkait, tutur pegiat LSM, maka selain melanggar ketentuan dan sekaligus memicu resiko tinggi, cara kerja seperti ini juga menjelaskan bahwa pengerjaan proyek fisik oleh pihak sekolah terbilang ngawur.
“Maka pertanyaannya, untuk apa sumbangan sekolah dihimpun jika penggunaan dan penyalurannya tidak taat mekanisme konstruksi dan bahkan cenderung ngawur serta membahayakan siswa? Ini kan sama saja bohong, “sorotnya tak habis pikir.
Lebih dari itu, hal prinsip lain yang layak dipertanyakan adalah soal harga satuan pekerjaan gedung. Sejauh ini, tuturnya, belum pernah dijumpai pihak sekolah mempublis harga satuan pekerjaan gedung ke ruang publik. Sehingga harga gedung sudah wajar atau kemahalan, itu tidak diketahui.
Juga, ketika kebutuhan gedung baru disebut, sudahkah hal tersebut mendapat persetujuan pihak otoritas? Jika tidak, tegas pegiat LSM, maka praktik seperti itu lebih sebentuk subyektif pihak sekolah yang belum teruji urgensinya, atau dengan kata lain kebutuhan yang mengada-ada.
Ia menegaskan, jika sederet pertanyaan diatas tidak terjawab atau tidak bisa dijawab (karena memang tidak pernah dipenuhi), lalu untuk apa muncul gembar-gembor dan suara lantang bahwa sumbangan sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan?
Hingga berita ini ditulis, Minggu (14/9/2025), sederet pertanyaan yang dikirimkan kepada 5 Kepala Sekolah SMA Negeri di Jombang pada hari Jumat (12/9/2025) lalu, tidak satu pun berbuah jawaban alias 5 Kepala Sekolah lebih memilih sikap bungkam. (din)