JOMBANG – Lagi dan lagi, dugaan pungutan sekolah berkedok sumbangan pendidikan terjadi di lingkup SMA Negeri dan SMK Negeri Kabupaten Jombang. Lagi dan lagi, kasus satu ini nyaris berulang setiap tahun dan entah kapan berhenti.
Permendikbud 75/2016 terus dikoyak. Dieksploitir. Ditarik ke segala arah demi pembenaran dan pemuasan tafsir sepihak. Kata sumbangan mengalami degradasi makna. Ia yang seharusnya sukarela menjadi cenderung keharusan.
Emil Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, melempar garis batas. Yang namanya sumbangan, sebutnya, siapapun boleh menyumbang atau tidak menyumbang. Tidak perlu ada alasan. Tidak perduli kaya atau miskin.
Dalam tayangan tiktok, Emil Dardak mencium ada modus yang dimainkan. Semacam pemaksaan secara halus. Dalihnya kesepakatan. Padahal untuk menyumbang atau tidak menyumbang, tidak diperlukan kesepakatan apapun.
Secara umum, modus itu berlangsung melalui rapat komite sekolah. Wali murid diundang. Kebutuhan sekolah diumumkan. Para penyumbang diabsen. Maka, kata Emil Dardak, yang tidak menyumbang akan malu. Itu sama saja pemaksaan secara halus.
Apapun dalihnya, sebutuh apapun lembaga sekolah terhadap kesediaan sarana prasarana serta fasilitas pendidikan, tandas Wakil Gubernur, tidak berarti kata sumbangan boleh berubah menjadi keharusan.
Di Jombang, SMKN 1 jadi sorotan. Dilansir dari sejumlah media, sekolah kejuruan ini disebut telah mematok sumbangan pendidikan sebesar Rp 1,5 juta kepada setiap wali siswa angkatan tahun 2025.
Tapi itu dibantah Kepala Sekolah SMKN 1 Jombang, Abdul Muntolib. Menurutnya, pihak sekolah tidak pernah menyebut angka Rp 1,5 juta. Angka itu, tegasnya, disuarakan sendiri oleh wali murid.
Yang sebenarnya terjadi, kata Abdul Muntolib, pihak sekolah hanya memaparkan rencana akan membangun sejumlah fasilitas sekolah dengan estimasi biaya sekitar Rp 1 milyar lebih.
Fasilitas dimaksud berupa jogging track yang akan dibangun di lapangan milik sekolah, pembangunan tempat parkir siswa, renovasi tempat parkir guru, serta renovasi kusen tempat praktik perhotelan.
Tidak lupa, untuk supaya tidak disebut pungutan liar, Abdul Muntolib menyebut dana sumbangan dari wali murid berstatus partisipasi. Tidak dipaksa. Bahkan wali murid dari jalur afirmasi dibebaskan dari sumbangan.
“Jika benar itu sumbangan, maka pihak sekolah melalui komite sekolah seharusnya hanya membuka pengumuman. Setelah itu, tugas komite hanya menampung duit sumbangan. Bukan menggelar rapat yang mengarah pada penetapan nilai sumbangan. Itu penggiringan namanya, “sorot pentolan LSM.
Dengan hanya membuka pengumuman, tuturnya, maka yang terjadi adalah nilai sumbangan yang variatif dan bukan angka yang seragam. Dengan demikian, tegasnya, apa yang disebut sukarela atau tidak memaksa itu benar-benar terpenuhi. (din)