Example floating
Example floating
Example 728x250
Laporan Utama

Carut-marut 12 M Swakelola Disdikbud Jombang (1): Aneh, Swakelola Kok Tanpa Nama

0
×

Carut-marut 12 M Swakelola Disdikbud Jombang (1): Aneh, Swakelola Kok Tanpa Nama

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Proyek Revitalisaai Gedung SMPN Jombang. (Gambar: Istimewa)
Example 468x60

JOMBANG   –   Tapi itu bukan kesalahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jombang. Sebab, kata seorang sumber, pelaksanaan proyek revitalisasi gedung SMPN secara swakelola itu memang kemauan pihak kementerian.

Melalui Petunjuk Teknis Pelaksanaan Nomer: M2400/C/HK.03.01/2025, diketahui Dirjen Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan program revitalisasi Satuan Pendidikan tahun 2025 dilaksanakan secara swakelola.

Otomatis, lanjut Sumber, Disdikbud Jombang sebagai satuan hirarkis Kementerian Pendidikan tidak cukup kuasa untuk menolak garis komando pemerintah pusat. Mau tidak mau, juknis pelaksanaan harus dijalankan.

Padahal, sambungya, juknis tersebut cukup beraroma janggal. Entah merujuk pada cantolan apa, pada juknis pelaksanaan itu, Dirjen Kemendikdasmen ternyata hanya menyebut kata swakelola sebagai metode pelaksanaan. Swakelola tanpa nama, swakelola tanpa embel-embel. Dan itu terbilang tidak lazim.

Khusus urusan pengadaan barang dan jasa pemerintah, tegas Sumber, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemrintah) adalah otoritas. Lembaga pemerintah non Kementerian ini bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Sementara soal swakelola, tuturnya, LKPP telah menyediakan panggung bermain dengan tajuk Peraturan LKPP Nomer 3 Tahun 2021. Poin penting peraturan ini adalah, tegasnya, tentang swakelola yang dibagi menjadi 4 tipe.

Yaitu tipe 1 yang berarti swakelola direncanakan, dikerjakan, serta diawasi sendiri oleh KLPD (Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah). Kemudian, tipe 2 dilaksanakan dengan cara menggandeng KLPD lain berdasarkan kompetensi.

Tipe 3 dikerjakan Ormas. Juga diawasi Ormas bersangkutan. Tetapi perencanaan kegiataan dikerjakan KLPD. Sementara untuk tipe 4, swakelola direncanakan oleh KLPD, serta dikerjakan dan diawasi oleh kelompok masyarakat (pokmas).

Pertanyaannya, sergah Sumber, kenapa seorang dirjen kementerian berani melampaui kewenangan LKPP dengan memunculkan diksi baru soal swakelola? Kenapa 4 tipe swakelola yang ditetapkan LKPP tiba-tiba hapus dan hanya menyisakan kata swakelola saja?

Praktiknya, kata Sumber, pada pelaksanaan program revitalisasi satuan pendidikan 2025 dilingkup Disdikbud Jombang, ternyata swakelola tanpa tipe sebagaimana dimaksud Dirjen itu merujuk pihak sekolah sebagai pelaksana proyek.

Padahal Lembaga sekolah termasuk kategori KLPD. Lalu kenapa tidak disebut swakelola tipe 1? Apa karena lembaga sekolah dipastikan tidak memiliki kemampuan tehnis bidang konstruksi sehingga swakelola tipe 1 dikaburkan menjadi swakelola saja?

Peraturan LKPP yang menyebut pelaku swakelola terdiri 4 pihak antaralain KLPD, KLPD lain, serta Ormas dan Pokmas, tuturnya, maka 3 pelaku lain seharusnya juga berhak dipilih. Tapi kenapa yang dipilih hanya Lembaga sekolah?

Padahal dari sisi manapun, ujar Sumber, lembaga sekolah dipastikan tidak memiliki kemampuan tehnis bidang konstruksi kecuali menggandeng pihak ketiga. Jika itu yang terjadi, tegasnya, maka swakelola model begini layak disebut swakelola gado-gado.

Akibat tidak memiliki kemampuan itu, lanjut Sumber, pelaksanaan program revitalisasi satuan pendidikan 2025 berupa rehab dan pembangunan sejumlah gedung SMPN yang seharusnya dikerjakan pihak sekolah itu diduga kuat dikerjakan oleh kontraktor. (din)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *